Internet dan Anak Semakin Lekat,KEMEN PPPA INGATKAN JEMBRANA UPAYA PERLINDUNGAN ANAK

Daerah344 views

Jembrana –  (02/3) Saat ini anak dan teknologi memiliki hubungan yang kian lekat. Tanpa disadari, kelekatan tersebut mengakibatkan rendahnya kualitas hubungan antara anak dan orangtua. Anak yang memiliki pola komunikasi yang kurang baik dengan orangtuanya lebih rentan menjadi korban kekerasan dan eksploitasi di media sosial. Menyadari hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berupaya mencerdaskan masyarakat, khususnya di Jembrana, Bali untuk bersama-sama melakukan deteksi dini sebagai upaya perlindungan anak melalui kegiatan “Advokasi dan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan dan Eksploitasi”.

Kemen PPPA, melalui Deputi Perlindungan Anak, khususnya Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi menanamkan pentingnya melindungi anak dari segala bentuk perilaku kekerasan dan eksploitasi kepada 200 orang peserta yang terdiri dari unsur Anggota Gabungan Organisasi Wanita (GOW), Kepala Sekolah, PKK serta Tokoh Masyarakat diharapkan menjadi langkah awal bagi masyarakat Jembrana untuk berkontribusi dalam memutus mata rantai yang bisa mengarahkan anak-anak Indonesia menjadi korban kekerasan dan eksploitasi, baik di dunia maya ataupun di dunia nyata.

“Anak korban kekerasan berpotensi dua kali lipat melakukan kekerasan ketika mereka dewasa. Jadi mari kita bersama-sama mendidik mereka dengan cinta dan kasih sayang, untuk menjaga masa depan mereka yang lebih baik,” ujar Asdep Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kemen PPPA, Valentina Gintings ketika memberikan pemahaman kepada peserta terkait kebijakan perlindungan anak.

Lebih lanjut, Valentina menuturkan bahwa “PR” kita melindungi anak-anak menjadi semakin berat ketika tidak mampu mengimbangi kecanggihan teknologi yang kian akrab dengan anak-anak. Internet dan media sosial dianggap semakin membuka peluang dan kesempatan bagi pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual mengincar korbannya. Peluang dan kesempatan pelaku ini kemudian didukung dengan tindakan anak yang mungkin tanpa sadar mengunggah materi seksualitas diri mereka tanpa mereka sadari. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Tahun 2011-2016 menunjukkan bahwa terdapat 1.809 kasus eksploitasi anak online di Indonesia.

“Fenomena ‘anak lebih pintar dari orangtua’ apalagi urusan teknologi dan ditunjang dengan kemudahan akses internet yang bisa mendorong anak terkoneksi tanpa batas menjadi tantangan tersendiri bagi kita, para orangtua, dalam melindungi anak-anak kita,” ungkap Valentina.

Tak hanya cerdaskan peserta tentang peluang eksploitasi seksual melalui media online, Valentina juga ingatkan peluang terjadinya kekerasan melalui media online. Kekerasan seksual juga kian marak terjadi, misalnya mempertontontkan video porno pada anak, mengunggah dan/atau menyebarluaskan gambar/video anak dalam keadaan tidak senonoh dan mengucapkan istilah yang mengandung unsur seks.

Namun, kita tidak bisa seterusnya menyalahkan pesatnya perkembangan teknologi yang tak bisa terkontrol. Muhammad Nur Awaludin, CEO Kakatu yang akrab disapa Kak Mumu menegaskan bahwa internet dan media social pada dasarnya adalah sesuatu yang netral, penggunanya lah yang berperan menjadikannya sebagai sesuatu yang positif atau negatif.

Kak Mumu juga menegaskan bahwa kondisi psikologis pengguna juga bisa menjadi faktor pendorong penyalahgunaan internet dan media sosial. Anak yang di rumah mengalami situasi BLAST (Bored, Loneliness, Angry, Stress and Tired) akan berpeluang menjadikan internet dan media social sebagai media katarsis atau pelarian. BLAST merupakan fenomena yang merujuk pada rapuhnya kondisi anak-anak di era digital akibat lemahnya sistem sosial yang paling utama dalam kehidupan mereka, yakni keluarga.

“BLAST memiliki dampak yang serius terhadap proses tumbuh kembang anak. Jika anak tidak bisa mengendalikan self-control-nya dan mengalami BLAST tentu akan berpengaruh buruk pada dirinya sendiri, kelompoknya, ataupun orang lain. Anak yang umumnya terserang fenomena BLAST adalah mereka yang tidak memiliki hubungan harmonis dengan orangtuanya. Hal ini mengakibatkan anak tumbuh dengan jiwa yang kosong. Anak dalam kondisi ini lebih memilih  membangun kelekatan dan emosional yang baik dengan dunia maya dibandingkan bersama orang tua. Celakanya, tidak sedikit anak-anak kita yang terjebak dalam situasi ini dan kemudian menjadi korban kekerasan dan eksploitasi melalui media online,” tutur Kak Mumu.

Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar secara terpisah menegaskan bahwa jika anak sudah menjadi korban maka semua pihak (pemerintah, pemda dan masyarakat) perlu melakukan upaya perlindungan khusus antara lain melalui pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial dan kesehatan fisik dan mental sebagaimana diamanahkan Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Melalui kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan di Gedung Kesenian Soekarno Jembrana ini, harapannya semakin banyak masyarakat yang sadar dan tergerak untuk semakin meningkatkan upaya perlindungan anak.

“Mungkin saat ini hanya 200 orang yang bisa kami pahamkan langsung soal perlindungan anak.Dari 200 orang ini, kami berharap akan berkembang menjadi 300 orang, 500 orang, 1000 orang hingga seluruh masyarakat Jembrana melakukan hal yang sama,” ungkap Valentina. (joli)

Tinggalkan Balasan