Suarapribumi.co.id – Jakarta, 22 Mei 2025 — Tawuran pelajar yang masih merajalela di kawasan DKI Jakarta menjadi sorotan utama dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Optimalisasi Peran Sekolah dalam Upaya Preventif Tawuran Pelajar: Membangun Iklim Pendidikan yang Aman dan Inklusif”.
Acara ini digelar oleh Pengurus Pusat Visioner Indonesia di Hotel Mega Proklamasi, Jakarta Pusat, dengan dukungan Polda Metro Jaya dan melibatkan lintas sektor strategis.
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, yang mewakili membuka kegiatan ini secara simbolis dan menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam menciptakan sistem pendidikan yang bebas dari kekerasan.
Ia menyampaikan bahwa penguatan karakter siswa, terutama melalui peran guru BK, merupakan kunci deteksi dini terhadap potensi konflik di lingkungan sekolah.
Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Pol Susatyo P. Condro, S.H., S.I.K., M.Si., mengungkap bahwa dalam satu bulan terakhir saja telah terjadi 45 kasus tawuran pelajar.
Ia menegaskan bahwa pencegahan tidak cukup hanya dengan edukasi, tetapi memerlukan pendekatan hukum, patroli siber, hingga keterlibatan tokoh masyarakat dalam membina siswa di luar sekolah.
Turut hadir, Felix Martuah Purba, S.H., M.H., pengamat hukum yang memaparkan pentingnya penyelesaian yang adil dalam kasus pelanggaran oleh pelajar. “Penanganan hukum terhadap pelaku tawuran harus memperhatikan keadilan restoratif, tidak hanya sebagai bentuk pemulihan terhadap korban tetapi juga sebagai pembelajaran hukum bagi pelaku.
UU SPPA sudah mengatur mekanisme diversi yang seharusnya dijadikan prioritas,” tegas Felix. Ia menambahkan, penyidik, jaksa, dan hakim harus menjadikan perlindungan anak sebagai pertimbangan utama, bukan semata-mata penghukuman.
Pernyataan Felix dikuatkan oleh Cornelia Agatha, S.H., M.H., dari Komnas Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa tawuran pelajar harus dilihat sebagai krisis sosial yang menuntut pendekatan holistik. Ia mengajak sekolah untuk aktif melibatkan keluarga dan komunitas dalam setiap tindakan preventif.
Sementara itu, akademisi Universitas Negeri Jakarta, Dr. Abdul Haris Fatgehipon, M.Si., menyoroti tantangan internal sekolah, seperti minimnya perhatian terhadap pembentukan karakter dan lemahnya kapasitas guru BK.
“Kita harus menghidupkan kembali fungsi sekolah sebagai ruang inklusi, bukan sekadar institusi akademik. Guru harus diberi ruang, perlindungan, dan pelatihan untuk menghadapi realitas sosial anak-anak hari ini,” jelas Haris.
Salah satu sesi yang menggugah adalah renungan dari Ricky Erviantara, mantan pelaku tawuran yang kini menjadi agen perubahan. Ia membagikan kisah transformasinya dari pelajar bermasalah menjadi pribadi yang aktif mengedukasi generasi muda. “Saya ingin anak-anak muda tidak mengalami masa kelam seperti saya. Sekolah dan lingkungan harus menjadi tempat yang menyelamatkan, bukan yang diam,” katanya.
Kegiatan ini turut diikuti oleh puluhan guru BK serta perwakilan siswa dari sekolah tingkat SMP hingga SMA/SMK se-Jabodetabek.
Perwakilan Dinas Pendidikan, Supriyono, dari Subkelompok Kurikulum dan Penilaian Bidang SMP, juga menekankan bahwa program pencegahan ini selaras dengan kebijakan Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 serta Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 159 Tahun 2024 tentang satuan tugas anti-kekerasan di sekolah.
Di akhir sesi, para peserta bersama narasumber merumuskan rencana aksi preventif sekolah berbasis karakter, restoratif, dan edukatif, termasuk membentuk forum sekolah damai sebagai langkah konkret menekan angka tawuran.
FGD ini menjadi momentum penting menggalang komitmen kolektif antara pemangku kepentingan pendidikan, aparat hukum, dan masyarakat sipil. Visioner Indonesia menegaskan bahwa tawuran pelajar bukan hanya persoalan pelajar, tetapi refleksi dari kegagalan sistemik yang harus ditangani bersama. (Red)