Tradisi Tahlilan dalam Perspektif Islam

Artikel1,101 views

Oleh: Nurrahmi Lathifa, Nunu Burhanuddin

Suarapribumi.co.id — Tahlilan merupakan suatu bentuk ibadah yang dikerjakan oleh banyak orang dengan bersama-sama mengucapkan kalimat thayyibah dan juga mengirim doa kepada sesama muslim yang telah meninggal dunia. Tahlilan sendiri bisa dilaksanakan di berbagai tempat, baik di masjid, mushalla dan  majelis-majelis dzikir dengan semata-mata mengharapkan rahmat serta ridho dari Allah swt.

Tahlilan dapat kita temui di tengah-tengah masyarakat Indonesia pada hari pertama meninggalnya seorang mayit, hingga memasuki hari ketujuh, ke- 40 bahkan sampai hari ke-100 dari kewafatan seorang mayit.

Masyarakat percaya bahwa doa yang dikirimkan melalui tahlilan akan sampai kepada orang yang telah meninggal. Tradisi tahlilan ini tentulah sebuah bentuk kasih sayang dan penghormatan keluarga kepada salah satu anggota keluarga yang telah meninggal. Mereka mengharapkan bahwa orang yang telah meninggal dapat pahala yang dikirimkan melalui do’a yang dikirimkan tersebut.

Tahlilan banyak sekali dilaksanakan diberbagai daerah di Indonesia. Ritual tahlilan ini menimbulkan diskursus pro dan kontra dalam internal umat Islam sendiri. Sebagian kelompok menganggap tahlilan itu bid’ah (ajaran yang tidak memiliki landasan dari al-Qur’an ataupun hadis) dan berbau sinkretis (pencampur adukan ajaran agama).

Menurut kelompok ini, tahlilan berasal dari ajaran agama Hindu. Islam terinfiltrasi oleh ajaran ini. Kemudian, di susunlah rangkaian wirid-wirid dan do’a-do’a serta pembacaan surat Yasin kepada si mayit dan dipadukan dengan ritual-ritual selamatan pada hari ke 7, 40, 100, dan 1000 yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Namun kelompok pro tahlilan mengatakan bahwa tahlilan bukanlah dari Hindu, tapi dibawa oleh Sunan Ampel dari Champa, Vietnam. Menurut Said Aqil Siraj, secara geneologis, ajaran Islam yang ada di Champa pada waktu itu adalah ajaran Islam yang dibawa dari Timur Tengah.

Selain itu, kelompok pro tradisi tahlilan mengatakan bahwa prosesi yang dilakukan dalam tradisi tahlilan semuanya memiliki landasan (dalil), baik dari al-Qur’an maupun hadis.

Dalam kitab Majmu’ Fatwa disebutkan bahwa seseorang pernah bertanya kepada Ibnu Taimiyyah terkait dengan tahlilan ini. Penanya berkata, mereka memulai dan menutup zikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendo’akan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (la haula wa laa quwwata illa billah) dan shalawat kepada Nabi Saw. Lalu Ibnu Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdo’a adalah amal shaleh. Orang yang mengatakan pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada orang yang telah meninggal, justru itulah yang bid’ah.

Sedangkan berkaitan dengan acara tujuh hari, dalam Islam sendiri tradisi selamatan tujuh hari telah ada sejak generasi sahabat Nabi Saw. Al Imam Sufyan, seorang ulama salaf mengatakan bahwa Imam Thawus pernah berkata: “Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari. Oleh karena itu, mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.

Dari Riwayat tersebut dijelaskan bahwa tradisi selamatan selama tujuh hari telah berjalan sejak generasi sahabat Nabi. Sudah tentu, para sahabat dan generasi salaf tidak mengadopsinya dari agama Hindu, karena orang-orang Hindu tidak ada di daerah Arab. Jadi, tradisi selamatan tujuh hari tersebut hukumnya jelas tidak haram, bahkan bagus untuk dilaksanakan.

Sebagaimana tradisi tahlilan yang dilakukan tentulah mempunyai nilai positif, masyarakat tidak hanya diajarkan pada selalu mengingat kematian, juga diajarkan mendoakan dan selalu memberikan do’a yang baik kepada orang yang telah meninggal. Selain itu tahlilan juga bisa berguna sebagai bentuk mengingat Allah dengan membacakan kalimat-kalimat yang baik, membacakan ayat Al-Quran dan juga dapat mempererat tali silaturrahmi antar sesama keluarga.

Dengan adanya tradisi tahlilan setiap keluarga bisa selalu saling mengasihi antar sesama. Adanya kerukunan yang tercipta, kedamaian yang terasa ada Ketika Bersama-sama mendoakan ahli keluarga yang telah meninggal. Sehingga tidak ada pertikaian yang terjadi di dalam keluarga. Disebabkan masalah-masalah yang kecil.

Tahlilan bisa dijadikan pemersatu antar keluarga yang selalu sejalan dalam memberikan do;a kepada keluarga yang telah meninggal. Tradisi ini juga dapat mengajarkan kepada anak penerus, bahwa setelah keluarga meninggal mereka juga dapat mengirimkan do’a berupa bentuk tahlilan. Dalam mengirimkan pahala tentu tidak hanya bisa dilakukan dalam bentuk kegiatan tahlilan yang dilakukan Bersama dengan masyarakat kampung.

Akan tetapi bisa dengan bentuk kebaikan lainnya yang dilakukan oleh keluarga orang yang telah meninggal. Sedekah kepada faqir miskin, anak yatim dan memberikan bantuan, sumbangan juga bisa dilakukan dengan niat mengirimkan pahala tersebut kepada orang yang telah meninggal.

Dalam tahlilan banyak sekali yang dapat kita ambil hikmahnya. Dapat mempererat hubungan antara masyarakat sekitar tanpa terkecuali. Masyarakat juga dapat saling berjabat tangan, sapa menyapa antara sesama warga di lingkungan tempat tinggal. Banyak sekali nilai-nilai kebaikan dalam tahlilan tersebut.

Editor: Syafri Ario, S. Hum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *