Apakah Ilmu Pengetahuan Itu Netral?

Artikel626 views

Oleh: Dzul Afria Sari, Nunu Burhanuddin

Suarapribumi.co.id — Seorang pejabat pemerintah baru diangkat menggantikan pejabat sebelumnya. Pengangkatannya menuai kritik. Pasalnya, lembaga yang ia pimpin sebelumnya mengadakan kerjasama penelitian virus-virus penyakit menular dengan lembaga pertahanan asing yang diduga melakukan aktivitas intelejen. Di depan wartawan media yang ramai menanyakan kerjasama itu, ia berusaha memberikan klarifikasi. “Saya ini seorang peneliti,” katanya. “Saya bekerja sama dengan banyak lembaga penelitian di seluruh dunia.” Begitu kira-kira penjelasannya.

Pejabat itu sedang ingin menjelaskan posisinya bahwa ia adalah seorang peneliti, seorang ilmuwan, saintis, which is, ia harus netral. Tidak berpihak. Oleh karena itu, pejabat lama yang meninggalkannya dalam acara serah terima sempat menyindir, “Tentang kerjasama ini lakukanlah dengan semangat nasionalisme yang tinggi.” Sang pejabat lama meminta penggantinya agar tidak “netral”, tapi lebih mementingkan kepentingan bangsa sendiri dibanding ilmunya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kasus atau kejadian seperti di atas. Kita sering mendengar uraian –terutama dari seorang pakar atau ilmuwan, bahwa agar sesuatu itu ilmiah atau benar secara ilmu pengetahuan, kita harus netral. Kita tidak boleh memihak. Kita harus meragukan semua kebenaran, termasuk kebenaran yang kita miliki sendiri.

Dalam sebuah kuliah filsafat di perguruan tinggi Islam negeri, seorang dosen memulai kuliahnya dengan mengatakan, “Untuk belajar filsafat kita harus netral. Oleh karena itu agama yang kita anut simpan dulu di lemari.” Para mahasiswa diminta untuk menanggalkan aqidahnya “sebentar” untuk membahas aliran-aliran filsafat dan paham keagamaan. Kalau kita tetap menggunakan dasar agama kita, katanya, berarti kita tidak objektif, tidak ilmiah.

Jelas saja, komentar dosen tersebut menuai kritikan keras dari mahasiswanya yang memang tidak bisa dan tidak mau menanggalkan dan meninggalkan aqidahnya walaupun hanya satu detik. “Melepaskan Islam, meskipun sebentar bukankah itu menjadi kafir, pak? Kalau pas agama dilepas lalu Allah cabut nyawa kita bagaimana?” begitu kritik mahasiswanya.

Dosen yang sehari-hari termasuk orang yang rajin ibadah, akhlaknya baik dan aktivis Islam ini tidak mampu melepaskan diri dari paradigma ilmu pengetahuan yang telah tersekularkan. Dalam paradigmanya, sebagaimana paradigma banyak orang di dunia sekarang ini, untuk menjadi ilmiah dan objektif, seseorang harus netral, tidak boleh memihak.

Padahal ketika seseorang mengatakan ilmu itu netral, sebenarnya tidak benar-benar netral. Ia hanya netral dari nilai-nilai agama, dalam hal ini agama Islam, tapi tidak netral terhadap nilai-nilai lain seperti sekularisme, materialisime, atau liberalisme. Dalam kasus pejabat yang seorang peneliti di atas, dia netral terhadap nasionalisnya, tapi menjadi tidak netral terhadap negara-negara yang mendapatkan keuntungan dari kerjasama tersebut.

Inilah salah satu kekacauan yang diakibatkan oleh rusaknya konsep dasar tentang ilmu. Peradaban Barat telah membuang nilai-nilai agama terhadap ilmu pengetahuan. Ilmu, termasuk ilmu sosial dan ilmu alam, yang dahulu selalu dikaitkan dengan kekuasaan Allah, sekarang sudah tidak lagi. Ilmu seakan-akan berdiri sendiri. Tidak ada kaitannya dengan kekuasaan dan iradat Allah. Ilmu -terutama ilmu-ilmu alam (natural sciences) dianggap memenuhi hukum sendiri yaitu hukum alam (natural law) yang berjalan secara mekanistis. God is a watch maker.

Tuhan ibarat pembuat jam. Ia menciptakan alam raya ini seperti seseorang membuat jam. Setelah jam tercipta, jam berdetak sendiri tanpa campur tangan sang pembuat jam lagi sampai akhirnya jam itu mati.

Paham rasionalisme, empirisme, relativisme, positivisme, sekularisme, liberalisme, materialisme, dan sejenisnya yang berasal dari Barat, yang masuk dan mendasari ilmu pengetahuan telah merusak hakikat ilmu bahkan merusak kehidupan dunia itu sendiri. Rusaknya ilmu menjadi penyebab rusaknya dunia.

Paham ilmu yang telah sekular ini menggobal ke seluruh dunia. Dengan kata lain, ilmu yang kita terima sekarang ini dan diajarkan kepada anak-anak kita di bangku sekolah adalah ilmu yang sekular. Ilmu yang melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan. Dalam dunia pendidikan kita, -sekali lagi terutama yang berkaitan dengan ilmu-ilmu alam, tabu rasanya kita membicarakan peran Allah dalam setiap kejadian. Karena sejak awal Tuhan telah ditinggalkan dalam peneliti dan mempelajari sebuah ilmu.

Hal yang kemudian terjadi adalah, ketika gempa bumi menimpa suatu daerah dan memporakporandakan segala yang berada di atasnya, para ilmuwan hanya berbicara dan menganalisis soal lempengan-lempengan bumi yang bergeser, di mana pusat gempa bumi, berapa skala magnitudo-nya hingga berpotensi tsunami atau tidak. Para ilmuwan seakan-akan “haram” menyebut bahwa itu terjadi atas kekuasaan Allah. Mereka dengan yakin menyebutkan bahwa menyebab gempa adalah bergesernya lempengan-lempengan bumi. Misalkan, di satu wilayah di negeri ini dihantam oleh bencana alam gempa bumi dengan skala magnitudo yang cukup tinggi. Karena pusat gempa ada beberapa kilometer di bawah laut maka menimbulkan gelombang tsunami yang memporak-porandakan sekitar pantai wilayah tersebut.

Segera presiden memanggil para ahli geologi terbaik dari seluruh penjuru negeri. Masing-masing pakar itu diminta berbicara menjelaskan fenomena alam ini. Merekapun menjelaskan sesuai dengan bidang ilmu tersebut. Mulai dari bergesernya lempengan-lempengan yang merupakan titik temu dari beberapa wilayah, pusat gempa, beberapa kekuatannya dan kecepatan gelombang Tsunami menghantam pantai.

Lalu ada seorang ahli, pakar juga di bidang geologi, tapi seorang muslim yang mempunyai cara pandang Islami. Ketika waktunya dia diminta bicara, ia menjelaskan. “Pak Presiden, gempa yang terjadi di wilayah itu karena peringatan dari Allah. Allah murka karena penduduk setempat melakukan praktek-praktek syirik secara nyata bahkan didukung oleh pemerintah daerah setempat. Kita berkali sudah mengingatkan tapi tidak mereka pedulikan. Jadi, jika kita ingin musibah ini tidak terjadi lagi, janganlah kita melakukan aktivitas yang membuat Allah murka.” Mungkin, sekali lagi mungkin, Pak Presiden akan mengatakan, “Maaf Pak Ustadz, pengajiannya nanti saja bakda dhuhur.” Jadi, mengkaitkan fenemona alam dengan nilai-nilai spiritual dianggap haram.

Padahal, menurut penelitian, hampir tiap dua hari sekali terjadi gempa bumi. Tapi mengapa gempa ini yang membuat kerusakan, sedang gempa yang itu tidak, dan sebagainya. Sudah pasti ini ada campur tangan Allah pada kejadian tersebut. Kita tidak tahu maksud Allah menimpakan kejadian tersebut, apakah untuk menguji, menegur atau mengadzab. Tapi yang jelas, terjadinya gempa bumi tersebut karena atas iradat (kehendak) Allah.

Setiap Allah berkehendak PASTI terjadi, setiap sesuatu yang tidak dikehendaki Allah terjadi –meskipun lempeng-lempeng bergeser, tidak akan terjadi. Pergeseran lempeng bumi yang kemudian terjadi gempa hanyalah keadaan (al-haal) ketika gempa itu terjadi. Mengapa lempengan itu bergeser tidak ada yang tahu kecuali Allah. Ini keyakinan kita sebagai seorang muslim bahwa yang menggerakkan semua kejadian alam tersebut adalah Allah Sang Maha Kuasa, sebagaimana keyakinan kaum ateis sekular bahwa alam ini bergerak dengan sendirinya, tidak ada peran siapapun.

Para saintis, terutama yang ateis, selalu mengaitkan bahwa bencana alam yang terjadi karena hukum alam dan terjadi secara alami. Mereka menolak mentah-mentah ada peran Tuhan di sana. Paling banter mereka mengatakan ini kerja invisible hands, tangan-tangan yang tak terlihat. Sebetulnya, kalau tidak sesuai dengan hukum alam dan tidak acak, yang disebut invisible hands itu adalah perbuatan malaikat atas perintah Allah. Kembali lagi, ini masalah presuposisi (asumsi-asumsi) dalam ilmu pengetahuan yang tentu berbeda satu saintis dengan saintis lain sesuai dengan pandangan dunianya (worldview) mereka. Antara ilmuwan muslim dengan ilmuwan sekular atau ateis tentu berbeda.

Jadi kesimpulannya, ilmu pengetahuan atau sains itu tidak akan pernah netral. Karena sains ada pada diri saintis, sesuatu yang ada di benak pikirannya. Maka, selalu ada ideologi atau cara pandang (worldview) tertentu yang masuk di dalamnya, tergantung worldview sang ilmuwan. Jika atheis maka dia tidak akan memasukkan unsur-unsur spiritual atau ketuhanan ke dalam setiap fenomena alam. Demikian pula seorang sekularis. Namun, seorang muslim yang bercara pandang Islami, akan memasukkan unsur spiritual dan nilai-nilai di dalamnya. Sains yang dimaksud di sini adalah sains dalam ranah filosofi (filsafat ilmu), bukan pada hal-hal teknis, produk sains atau teknologi. Maka, kita perlu hati-hati ketika belajar ilmu pengetahuan. Jadilah seorang muslim yang saintis. Seorang ilmuwan yang mempunyai cara pandang (worldview) Islami.

Editor: Syafri Ario, S. Hum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *