PEKANBARU, suarapribumi.co.id — Pihak Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Pekanbaru memberikan penjelasan terkait marahnya majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam persidangan perkara penggelapan uang nasabah sebanyak Rp84,9 miliar lebih. Hal tersebut berkaitan dengan salah seorang terdakwa dalam perkara itu, yakni Agung Salim, diketahui tidak ada di dalam Rutan Kelas I Pekanbaru.
Kepala Rutan Kelas I Pekanbaru, M Lukman mengatakan, pada prinsipnya pihaknya telah memperhatikan aspek visi melakukan perawatan pada tahanan.
“Urgensi tertentu dan dalam keadaan sakit, itu juga dikuatkan dengan pernyataan ataupun keterangan ataupun hasil pemeriksaan dari dokter bahwa yang bersangkutan sakit. Tentunya ini menjadi bahan untuk kita sampaikan informasi kepada pihak-pihak terkait, termasuk kepada pihak kejaksaan maupun pengadilan yang menitipkan tahanan di tempat kami,” kata Lukman, Senin (27/12/2021) petang.
Dilanjutkannya, pemberitahuan tentang kondisi terdakwa Agung Salim sudah disampaikan beberapa kali. Pada sidang pekan lalu, terhadap terdakwa Agung Salim sudah sempat dilakukan pemeriksaan oleh dokter. Menurut dokter, melihat kondisi terdakwa saat itu, disarankan agar segera dibawa ke rumah sakit.
“Nah kita juga sudah beritahukan ke kejaksaan pemberitahuan bahwa yang bersangkutan dalam kondisi sakit dan harus dibawa ke rumah sakit. Kemudian dari RSUD sendiri di awal pemeriksaannya boleh dibawa pulang, kita bawa kembali pulang ke Rutan, rawat jalan,” tuturnya.
“Tapi hari Kamis (23/12) sore terus kemudian intensif kita periksa, pada hari Jumat (24/12) dokter menyatakan kondisi yang bersangkutan sudah menurun. Akhirnya melaporkan ke saya bahwa kondisi ngedrop dan sebaiknya dibawa ke rumah sakit,” sambungnya.
Atas dasar urgensi dan alasan kemanusiaan disertai dengan dikirimkannya pemberitahuan ke pihak-pihak yang menahan, pihaknya lantas membawa terdakwa Agung Salim ke rumah sakit. Sampai akhirnya pada Jumat malam, pihak rumah sakit mengeluarkan rekomendasi supaya terdakwa dirawat.
“Bukan dari pihak Rutan yang mengeluarkan supaya dirawat, tapi dari pihak rumah sakit yang mengeluarkan rekomendasi agar dilakukan perawatan rawat inap di rumah sakit,” tutur Lukman.
Lukman menegaskan, dalam hal ini, pihaknya merujuk kepada PP 58 tahun 1999 Tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Disitu dipaparkan Lukman, sudah dijelaskan dengan rinci, terkait dengan bahwa pihak Rutan, dapat mengirimkan tahanan yang sakit ke rumah sakit. Baru kemudian dalam jangka waktu 1×24 jam, petugas Rutan memberitahukan kepada instansi yang menahan.
“Itu sudah kami lakukan, atas dasar kemanusiaan dan kewenangan sesuai dengan PP 58, itu kami laksanakan dan sesuai prosedural,” jelasnya.
Lukman menerangkan, terkait pemberitahuan itu, sudah dilakukan pihaknya kepada kejaksaan dan pengadilan. Pihaknya pun sudah melakukan beberapa macam komunikasi sudah. Baik melalui telepon langsung, chat Whatsapp, maupun surat yang diterima baik oleh kejaksaan dan pengadilan.
“Kita juga mau koordinasi terkait ihwal tahanan yang sakit termasuk salah satunya perihal pengawalan. Kita sudah 2 hari melakukan pengawalan. Sebetulnya kita lebih konsen mengawal mereka yang ada di dalam (Rutan). Tapi apa boleh buat, 2 orang (petugas Rutan) harus mengawal di rumah sakit. Mudah-mudahan ada solusi sesegera mungkin,” terangnya.
Lukman juga memberikan penjelasan soal pengiriman surat pemberitahuan membawa terdakwa ke rumah sakit, dengan ditujukan kepada Pengadilan Negeri Pekanbaru secara instansi. Bukan kepada majelis hakim.
“Kalau saya berpikir begini, normatifnya antar instansi tujuannya ke pimpinan instansi. Kalau kaitannya dengan materi, itu baru ke majelis. Saya kan instansi tidak ada kaitannya dengan materi yang diperkarakan. Makanya pemberitahuannya ke Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru,” jelasnya lagi.
Untuk diketahui, Agung Salim menjadi terdakwa dalam perkara tersebut bersama 3 orang saudaranya. Tidak hanya anggota keluarga konglomerat itu, masih ada seorang terdakwa lainnya. Dia adalah Maryani (berkas penuntutan terpisah).
Daĺam perkara itu, Agung Salim selaku Komisaris Utama (Komut) PT Wahana Bersama Nusantara (WBN). Sedangkan 3 orang saudaranya yakni, Bhakti Salim selaku Direktur Utama (Dirut) PT WBN dan PT Tiara Global Propertindo (TGP), Elly Salim selaku Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP, serta Christian Salim selaku Direktur PT TGP. Kedua PT itu merupakan anak perusahaan besar dari company profil Fikasa Group. Sedangkan terdakwa Maryani, selaku Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru, 4 orang Salim bersaudara itu, bersama terdakwa Maryani, diduga melakukan penggelapan uang nasabah senilai Rp84,9 miliar.
JPU menyebutkan, dugaan penggelapan uang nasabah yang dilakukan para terdakwa ini terjadi pada tanggal 14 Oktober 2016 sampai dengan 25 Maret 2020. Setidaknya ada 10 orang nasabah yang menjadi korban para terdakwa, dengan total kerugian Rp84.916.000.000.
Berawal dari tahun 2016 PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP yang bergerak dibidang usaha properti, perhotelan dan merupakan bagian dari Fikasa Grup, sedang membutuhkan tambahan modal untuk membiayai operasional perusahaan maupun perluasan usaha. Pada saat itu terdakwa Agung Salim mencari ide untuk mendapatkan tambahan modal tersebut.
“Diputuskan untuk menerbitkan Promisorry Note atas nama Perusahaan yang ada dalam Fikasa Grup, yaitu PT Wahana Bersama Nusantara dan PT Tiara Global Propertindo. Kemudian terdakwa Agung menyuruh terdakwa Maryani menjadi marketing freelance dikedua perusahaan tersebut (Fikasa Grup),” ujar JPU dalam membacakan isi dakwaannya beberapa waktu lalu.
Selanjutnya, dengan menggunakan company profil Fikasa Grup yaitu PT WBN dan PT TGP, Maryani pada sekitar bulan Oktober 2016 mendatangi korban Archenius Napitulu yang beralamat di Jalan Mawar Nomor 55 RT 33 RW 002 Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru. Maryani menawarkan investasi dengan bunga 9 sampai 12 persen pertahun. Dengan cara menjadi pemegang Promissory Note PT WBN dan PT TGP.
Saat menawarkan Promissory Note atas nama PT WBN dan PT TGP kepada masyarakat di Pekanbaru, Maryani menyampaikan Fikasa Grup menghimpun dana dengan menerbitkan Produk Tabungan berbentuk Promissory Note dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan bunga bank pada umumnya. Jika bunga deposito pada bank umumnya berkisar 5 persen pertahun, maka Fikasa Group bisa memberikan bunga 6 sampai 12 persen pertahun. Sehingga tabungan berbentuk Promissory Note ini lebih menguntungkan.
“Tabungan berbentuk deposito Promissory Note Fikasa Group menawarkan penempatan dana seperti deposito perbankan pada umumnya, yaitu menempatkan dana dalam jangka waktu tertentu dan dijanjikan mendapatkan imbalan bunga serta pokoknya terjamin. Kepada korban Maryani menjelaskan, bahwa produk tabungan berbentuk Promissory Note ini sama dengan produk deposito bank pada umumnya, yaitu nasabah menempatkan sejumlah dana untuk jangka waktu tertentu dan kemudian nasabah akan mendapatkan bunga dalam rate yang tetap (fixed rate) sebagaimana telah disepakati dan pokok dijamin kembali pada waktu jatuh tempo,” lanjut JPU.
Sehingga, posisi produk tabungan deposito ini adalah produk yang aman dan tidak ada resiko. Terlebih terdakwa Agung Salim sebagai pimpinan dan pemilik Fikasa Group adalah orang yang sangat kaya atau konglomerat.
Selain itu, sama seperti deposito berjangka bank pada umumnya, sebagai bukti pembukaan tabungan berbentuk deposito Promissory Note tersebut, nasabah akan menandatangani perjanjian tabungan berbentuk deposito Promissory Note dan menerima sertifikat tabungan berbentuk deposito Promissory Note yang didalamnya terdapat sistem perpanjangan otomatis (automatic roll over) terhadap deposito yang telah jatuh tempo. Singkatnya, deposito Promissory Note Fikasa Group adalah sama dengan deposito berjangka bank pada umumnya, karena keduanya memiliki karakteristik yang sama.
Sebagai Marketing freelance, Maryani bercerita bahwa sudah banyak nasabah yang membuka produk tabungan berbentuk deposito Promissory Note Fikasa group dan mereka semua menerima bunga yang lebih besar dari pada bunga bank dan pembayaran bunga sekaligus pengembalian tabungan pokok selalu berjalan dengan lancar. Untuk meyakinkan bahwa Fikasa Group dapat mengembalikan pokok dan bunga deposito Promissory Note Fikasa Group sepenuhnya, Maryani menjelaskan bahwa Fikasa Group dimiliki oleh konglomerat keluarga Salim (terdakwa Agung Salim, terdakwa Bhakti Salim, terdakwa Elly Salim, dan terdawka Christian Salim). Saksi Maryani juga menjelaskan bahwa tabungan berbentuk deposito Promissory Note Fikasa Group mempunyai izin dari Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Bahwa dengan kepiawaiannya selaku marketing freelance Fikasa Group, Maryani dari tahun 2016 sampai dengan 2019 telah berhasil mendapatkan nasabah dari masyarakat yang berdomisili di Pekanbaru yang menempatkan dana di PT WBN dan PT TGB. Dana itu disetornya dengan cara transfer ke Rekening PT WBN di Bank BCA atas nama PT WBN dengan nomor rekening 5460313190, Bank CIMB NIAGA atas nama PT WBN dengan nomor rekening 800157175000700 dan Bank Mandiri atas nama PT WBN dengan nomor rekening 1210000779789,” terang JPU.
Pada beberapa Promissory Note PT WBN dari para korban, ternyata dana yang ditransfer bukan ke PT WBN, namun ke rekening atas nama PT Inti Putra Fikasa (IPF) dengan nomor rekening Bank CIMB NIAGA 1070100065, nomor rekening Bank Mandiri 1020000007135 dan atas nama PT TGP Nomor rekening Bank BCA 5460313190.
“Setelah itu, nasabah mendapatkan bukti penempatan berupa Perjanjian Promissory Note dan Certificate Promissory Note yang berisi nominal penempatan, bunga keuntungan, dan tanggal jatuh tempo, serta ditandatangani oleh terdakwa Bhakti Salim, Agung Salim, Elly Salim, Christian Salim dan juga ditandatagani oleh nasabah yang menempatkan dananya.
Adapun 10 Nasabah yang menempatkan dananya pada PT WBN dan PTTGP dan menerima Promisorry Note dari kedua perusahaan ini tahun 2016 sampai dengan 2019 yaitu, Arhenus Napitupulu sebesar Rp20.391.000.000, Pormian Simanungkalit Rp16.500.000,000, Meli Novriyanti Rp10.000.000.000, Oki Yunus Gea Rp2.000.000.000, Pandapotan Lubantoruan Rp2.000.000.000.
Kemudian, Darto Jonson M Siagian Rp2.000.000.000 Agus Yanto M Pardede Rp22.250.000.000, Timbul S Pardede Rp2.000.000.000, Elida Sumarni Siagian Rp5.275.000.000 dan Natalia Napitupulu sebesar Rp2.000.000.000. Alhasil total dana yang terkumpul dari para korban sebanyak Rp84.916.000.000.
Dana nasabah yang seharusnya digunakan untuk operasional dan modal pengembangan usaha dari PT WBN dan PT TGP itu, justru digunakan para terdakwa untuk operasional dan modal usaha perusahaan lain yang ada dalam Fikasa Group. Diantaranya, untuk usaha air minum dan perhotelan. Dimana, usaha tersebut merupakan badan hukum yang berbeda tanpa dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada pemilik modal atau nasabah pemegang Promissory Note.
“Hasil keuntungan dari usaha perhotelan dan air minum tersebut masuk ke perusahaan-perusahaan group Fikasa, juga masuk ke rekening pribadi terdakwa Bhakti Salim, Agung Salim, Elly Salim, Christian Salim dan Maryani. Hal ini dapat dilihat dari aliran uang keluar dan masuk atas nama PT WBN Bulan Oktober tahun 2016 sampai dengan bulan September 2020,” ungkap JPU.
Bahwa para nasabah pemegang Promissory Note PT WBN dan PT TGP pada saat investasi mereka sudah jatuh tempo dan sudah tidak mendapatkan keuntungan berupa bunga, mereka telah mengambil sikap untuk tidak melanjutkan menempatkan uangnya di kedua perusahaan tersebut. Para korban meminta kembali pokok investasinya kepada PT WBN dan PT TGP pada awal tahun 2020.
Atas hal itu, para terdakwa menjanjikan dalam surat pernyataannya tanggal 26 Februari 2020 akan mengembalikan uang para nasabah pada tanggal 25 Maret 2020. Tetapi sampai saat ini uang para nasabah belum dikembalikan oleh para terdakwa, sehingga para nasabah mengalami kerugian dengan total lebih kurang Rp.84.916.000.000.
“Para terdakwa disangkakan dengan Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, Pasal 378 Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, Pasal 372 Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana dan Pasal 372 Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana,” jelas JPU lagi.
(Rizano)